Pertama-tama saya mengucapkan, Selamat Tahun baru 2013. teett... teett.. #tiup terompet
Tahun baru, semangat baru. Hari ini harus lebih baik dari kemarin,
bulan ini harus lebih baik dari bulan kemarin dan tahun ini harus lebih
baik dari tahun lalu. Setuju? Tahun 2013 yang disebut-sebut tahun kiamat
dimana jarak matahari sangat dekat dengan Bumi sehingga mengganggu
keseimbangan alam. Sebagian besar umat manusia akan lenyap, terjadi
bencana alam dimana-mana, kekacauan yang melanda. Who knows? Allaahu
a'lam bis-shawaab, hanya Allah, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui.
Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depan, yang pasti adalah hari ini masa depan kita :)
Oke,
tahun baru harus punya resolusi 2013 yang ingin dicapai. Saya yakin
kalian semua juga punya resolusi kan? Coba tuliskan catatan harapan
kalian disini, mungkin ini kelihatan menggelitik tapi saya telah
membuktikannya. Wishlist yang saya tulis di ms Word untuk bulan November
dan Desember 2011 sebagian tercapai. alhamdulillah yaa... Sesuatu
Saya juga pernah membaca bahwa target apa yang ingin dicapai kalau
ditulis akan dapat tercapai. It's magic? I don't know. mungkin Ketok
Magic
Tidak ada salahnya kalau dicoba right? Saya mulai duluan yaa, whistlist
atau saya menyebutnya catatan harapa di 2012 adalah deng.. deng..
deng..
Baiklah. Sekarang sudah masuk tahun 2013. Lalu apa?
Demikian kata salah seorang teman di pagi buta. Sebagaimana kataku di ocehan terakhir:
Badan yang tidak sehat wal afiat bikin hura-hura petasan dan bunyi
terompet yang fals itu, cuma menjadi sesuatu yang tak kesampaian di luar
kamarku. Maka SMS dan telpon menjadi alternatif untuk berceloteh dengan
basa-basi “Selamat tahun baru!” yang ada pula terselip kalimat “Wish u all the best” yang menyenangkan itu.
Ha! Sembari menghisap rokok dalam-dalam
untuk meracuni paru-paru, aku mencengir di pagi buta, di tepian jendela,
karena rasa-rasa lucu memikirkan bagaimana kalimat demikian seakan
bikin seluruh anak cucu Adam dan Hawa sedang berulang-tahun secara
massal di pagi 1 Januari ini. Massal seluruh dunia, di bawah matahari
dan rembulan yang sama.
Namun apa yang menarik bagiku justru pertanyaan yang berbau pesimis – jika malah bukannya sinis – di awal postingan ini: Lalu apa?
Postingan terakhirku sendiri, tanggal 31
Desember tahun lalu, memang ada juga nada-nada sinis walpesimis
demikian. Boleh jadi itu malah merupakan alasan tersendiri yang tak
sempat kugali dan kudefinisikan, untuk jadi bahan postingan tentang
sebab-musabab aku enggan bikin-bikin resolusi akhir tahun. Namun, aku
tidak sampai bertanya selugas itu, bahkan pada diriku sendiri: Oke, sekarang tahun baru, anak muda. Lalu apa? Bahkan
tidak melintas sama sekali dalam benakku, ketika jarum jam sudah
melintasi angka 12 dan suara petasan mengiringi percik kembang api yang
cuma sempat kulirik sekali dari kamar pengap ini (ah, untuk ritual
begitu, malah aku sempat mendengar suara yang sudah akrab di zaman
konflik dulu: suara peluru yang bersekutu dengan petasan, mercon,
terompet dan kembang api sehingga semarak tahun baru makin bermutu).
Tapi pertanyaan teman itu memang menyentil pikiran usil: Bukankah
memang segalanya, segala ritual bertanggal, hanyalah soal simbol-simbol
waktu saja? Kenapa bisa begitu punya arti tersendiri?
Misal saja, hal yang baru kusadari
barusan ketika rehat sejenak menghisap rokok yang bertengger di asbak:
Kalimat “tanggal 31 Desember tahun lalu” yang muncul di paragraf di
atas. Sekilas membaca dan/atau mendengar ucapan itu, bahkan di tanggal 1
Januari yang notabene hanya berkisar beberapa jam saja dari tanggal 31
Desember di pukul 23:59, akan terasa seakan itu tanggal yang silam. 31
Desember tahun lalu itu terasa macam sudah jauh. Seakan aku
mengucapkannya untuk sebuah postingan di tahun yang sudah setahunan yang
lalu. Lihatlah, bukankah simbol-simbol angka dan batasan waktu bisa
demikian menipu, Kawan?
Tidaklah aku
tahu pasti apa yang mendasari pertanyaan demikian singgah, terbaca dan
lalu terpikirkan olehku. Responku dengan mata yang mulai meredup cuma
sederhana saja. Tertawa dengan diwakili simbol alfabet, dan kalimat wishful thinking yang klise, “Yaaa… lalu mencoba untuk menjadi lebih baiklah…”
lalu dialog pun selesai. Mungkin kalimat itu bikin mulas dan muak,
bikin pusing sehingga membuat teman kita itu mau tidur lekas-lekas, atau
malah menjadi wahyu yang tiba-tiba membuat dia tercerahkan, lalu
memamah kalimatku itu menjadi sebuah kebenaran/pembenaran di
hari-harinya yang akan datang layaknya umat dapat wasiat-wasiat orang
keramat.
Namun, aku sadar benar, baik ketika
menjelang tidur atau bangun di pagi hari, bahwa pertanyaan berbau sinis
walpesimis itu memang memiliki maknanya sendiri. Bukan pada sikap
pesimis atau sinis itu, tapi pada bagaimana mempertanyakan guna apa mematok-matok waktu dan berharap dengan basis patokan waktu bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Bahwa empat angka 2013 akan lebih baik dari empat angka 2012. Bahwa 1
Januari ini akan jadi awal yang baru untuk format masa depan yang baru,
yang sering silap pula dianggap untuk melupakan apa-apa dari masa lalu.
Aku tidak hendak menuruti benar kesinisan
atau pesimisme demikian. Tidak sama sekali. Manusia, sependek nalarku
yang tak seberapamana ini, memang sudah fitrahnya selalu berupaya
menjadi lebih baik, atau minimal berharap bahwa hari-hari yang akan
datang akan lebih baik. Apakah itu dipandang dari sudut pandang per
individu, dari konsep-konsep manajeman finansial ala Robert Kiyosaki
atau manajemen qalbu Aa Gymnastiar, dari sudut pandang kehidupan
berbangsa-bernegara atau bahkan ajaran-ajaran yang menyebut-nyebut
surga-neraka sebagai bentuk punish and reward untuk manusia: agama.
Sebagai muslim, misalnya, sudah sering
aku mendengar ucapan sejenis, “Jika hari ini lebih baik dari hari
kemarin, maka ia orang yang beruntung, jika hari ini sama dengan hari
kemarin, maka ia orang yang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari
hari kemarin, maka ia orang yang celaka.”
Itu kalimat mungkin sudah sejak TK masuk
ke liang telingaku, dan aku percaya bawah kalimat yang semakna (meski
berbeda susunan kata) pernah masuk pula ke liang telinga mantan-mantan
orang hidup sebelum mereka masuk ke liang lahat. Kalimat itu benar
belaka, aku menerimanya demikian. Setidaknya, dari sudut sinis pikiranku
ini, aku masih menerima guna kalimat itu untuk motivasi hidup dan bikin
hidup lebih hidup bak kata iklan rokok di layar kaca. Hidup yang bukan
macam ternak belaka: makan, minum, bikin ritual, berhubungan seksual,
lalu bunting dan beranak-pinak sampai dibunuh sosok anonimus bernama
Ajal.
Tapi, adalah menarik – bagiku sendiri
setidaknya – untuk menertawai kecenderungan manusia (yang jelas termasuk
pula diriku sendiri) mengikat diri pada simbol-simbol penanggalan.
Tertawa yang senada-seirama pada drama hari0hari kemarin dari sesiapa
yang ribut-ribut, berdebat kusir dan menangis-nangis menonton film 2013,
berseteru atau bersekutu soal film kiamat yang tiba di tanggal tertentu
hasil rakitan sineas itu. Karena di pikiranku, kiamat-kiamat kecil
terjadi sehari-hari tanpa disadari. Kiamat yang tidak melulu terjadi
pada diri sendiri, tapi pada orang lain, pada daerah lain, yang kata Bu
Ani (guru agamaku di SMA dulu) bisa jadi pelajaran bagi kita. Salah
satu yang pasti dari kiamat-kiamat itu tak lain tak bukan adalah satu
kata mengerikan: kematian.
Nah! Lalu bagaimana? Salahkah jika
mempergunakan angka-angka seperti halnya penanggalan untuk bergenggam
tangan erat bersalaman dan bersemangat mengucapkan, “Selamat tahun baru
kawan! Mari menjadi lebih baik secara lebih cepat!” dan lalu semangat
dijawab pula, “Siap, Kawan! Lanjutkan!”
Tentu tidak. Setiap orang bebas untuk
membuat patokan-patokan dalam hidupnya. Dan angka-angka jelas membantu
hal demikian. Umpama kita mau beli tanah untuk menggarap kebun, agar
jangan sampai dibacok orang karena tanahnya kita serobot, maka
dibutuhkanlah pacak-pacak yang diberi simbol. Sekian meter ke utara
berbatasan dengan tambak ikan Tuan Samwan. Sekian meter ke selatan
berbatasan dengan kebun kelapa Datuk Beruk. Sekian meter ke timur
berbatasan dengan kebun sayur Nyak Nur. Sekian meter ke barat berbatasan
dengan sawah Tuanku Nan Batuah. (Jika batasan ini benar diterapkan
dengan sebaik-baiknya, maka perangkat adat tak perlu merebahkan satu-dua
ekor sapi untuk merujukkan warga yang bersengketa tanah sampai
menghunus belati).
Dan batasan manusia memang bukan soal
tanah macam contoh diatas. Pada kenyataannya, makhluk Tuhan yang – konon
kata banyak agama – disebut-sebut nenek moyangnya pernah disembah oleh
segenap bangsa malaikat, yaitu bangsa manusia, memang memiliki
keterbatasan dalam kehidupan di planet bumi ini. Bahkan keterbatasan
untuk mendefinisikan batas-batasnya sendiri sehingga kemudian
membutuhkan simbol-simbol. Membutuhkan bahasa.
Seorang mahasiswa teknik mesin di
Universitas Manchester di benua Eropa sana, sebelum masa Perang Dunia
Pertama, kaget dengan pertanyaan yang merasuk ke otaknya sendiri, “Apakah angka itu?” Entah karena salah makan obat atau keselek
pensil, dia beranggapan itu adalah pertanyaan yang lebih menarik
daripada apa yang acap ditemuinya di bidang teknik mesin, dan kemudian
juga disadarinya bahwa itu bukan sebuah pertanyaan sederhana.
Mahasiswa yang bergelut dengan angka-angka di bidang eksakta itu di kemudian hari bersabda dengan sedihnya, “Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt.”
Sebuah sabda yang terasa gurih, indah, dan intelek sekali saat
didengar, dibaca dan dituliskan di blog ini, dalam bahasa asing benua
Eropa yang tak akan kutemui di pojok pasar dimana para kuli biasa
berjudi ribuan rupiah dengan bahasa kasar. Sabda yang dalam bahasa
Melayu versi Republik Indonesia berarti, “Batas bahasaku adalah batas
duniaku.”
Demikianlah termaktub dalam buku Tractatus Logico-Philosophicus
hasil karya Si Mahasiswa yang kini dikenal sebagai salah satu tokoh
filsafat dunia bernama Ludwig Wittgenstein itu. Tentu bukan karena buku
itu ditulis di parit perlindungan Perang Dunia I, saat dia menjadi
sukarelawan dalam serdadu Austria yang mesti makan ala kadarnya pula,
maka buku itu menjadi buku yang sukar dicerna seperti lambungnya sukar
mencerna makanan tentara. Tapi karena keterkaitan dan keterbatasan
manusia dengan bahasa berikut segala simbol-simbolnya – termasuk
tanggal-tanggal almanak – adalah keunikan manusia yang tak bisa dibahas
dengan satu buku atau bahkan satu postingan melantur ini.
Ada pula orang bernama Ernst Cassirer
(yang wajahnya tak lebih kuhapal dari wajah kucing kurap yang pernah
nyaris terlindas ban sepeda motorku, di pasar kotaku ini) sekali waktu
dulu pernah memfatwakan keunikan manusia dalam hal ini, dimana dia
meyakini (dan mencoba meyakinkan orang lain) bahwa hebatnya manusia itu
bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya sehingga disebut Homo sapiens, tapi pada kemampuan berbahasa, sehingga ia munculkan pula istilah lain seenak jidatnya sendiri: Animal symbolicum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Konon cakupan istilah ini jauh lebih luas dari sebutan Homo sapiens
itu tadi, disebabkan dalam kegiatan berpikir atau cari-cari beban
pikiran, manusia menggunakan simbol-simbol. Sebuah fatwa bahasa yang
dikumandangkannya dalam karyanya, An Essay on Man, terbitan tahun 1944, dan diaminkan oleh Aldous Huxley pula dengan kesimpulan yang kalem, “Tanpa bahasa, manusia tak akan berbeda dengan anjing atau monyet,” dalam lembaran The Importance of Language, tahun 1962.
Dari semua pameran kalimat-kalimat
bernada intelektual penuh kutipan karya-karya asing dari orang-orang
bernama asing di atas itu, lalu apa tujuan dari postingan ini, sebuah
postingan dari Bogor ke Gunung Kidul alias ngalor-ngidul?
Ah, cuma menyampaikan peng-amin-an
tambahan dari seorang blogger amatiran di pojok Aceh ini, betapa bahasa
dan segala simbol-simbol penanggalan memang menjadi keunikan manusia.
Begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, hingga pacak-pacak waktu
kita definisikan dalam angka, hingga kata “31 Desember tahun lalu”
bisa terasa sangat jauh dan sudah lama meski waktu baru lewat sehari.
Meski ini baru tanggal 1 di bulan Januari. Tanggal yang menjadi hari
pertama di tahun 2013 ini. Tanggal yang mungkin kita sudah terbiasa
berlagak untuk “Hei! Mari buka lembaran baru, lupakan yang lama. Hidup
mesti maju ke depan, jangan kau tengok-tengok yang di belakang. Lupakan
masa lalu, lupakan kenang-kenangan dulu. Jangan lihat lagi… Mari maju
dan tumbuh dewasa!”
Namun… tahukah kau, Kawan, bahwa nama
bulan ini, Januari ini, diambil dari nama seorang dewa dalam mitologi
Romawi. Namanya Janus, dilambangkan bermuka dua (ada juga digambarkan
berkepala dua) yang tidak dimaksudkan untuk mewakili jenis ular kepala
dua atau manusia bermuka dua dengan lidah yang mahir menjilat pantat
sesiapa yang berkuasa atau berharta, seperti yang mungkin kau temui
dalam kehidupan di kolong langit planet ini.
0 komentar:
Posting Komentar