>

Jumat, 28 Desember 2012

Harapan Tahun 2013

http://ajmainhalta.blogspot.com/2012/11/kata-harapan-tahun-2013.html
Pertama-tama saya mengucapkan, Selamat Tahun baru 2013. teett... teett.. #tiup terompet
Tahun baru, semangat baru. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, bulan ini harus lebih baik dari bulan kemarin dan tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu. Setuju? Tahun 2013 yang disebut-sebut tahun kiamat dimana jarak matahari sangat dekat dengan Bumi sehingga mengganggu keseimbangan alam. Sebagian besar umat manusia akan lenyap, terjadi bencana alam dimana-mana, kekacauan yang melanda. Who knows? Allaahu a'lam bis-shawaab, hanya Allah, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui. 

Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depan, yang pasti adalah hari ini masa depan kita :)
Oke, tahun baru harus punya resolusi 2013 yang ingin dicapai. Saya yakin kalian semua juga punya resolusi kan? Coba tuliskan catatan harapan kalian disini, mungkin ini kelihatan menggelitik tapi saya telah membuktikannya. Wishlist yang saya tulis di ms Word untuk bulan November dan Desember 2011 sebagian tercapai. alhamdulillah yaa... Sesuatu
Saya juga pernah membaca bahwa target apa yang ingin dicapai kalau ditulis akan dapat tercapai. It's magic? I don't know. mungkin Ketok Magic Tidak ada salahnya kalau dicoba right? Saya mulai duluan yaa, whistlist atau saya menyebutnya catatan harapa di 2012 adalah deng.. deng.. deng..


Baiklah. Sekarang sudah masuk tahun 2013. Lalu apa?
Demikian kata salah seorang teman di pagi buta. Sebagaimana kataku di ocehan terakhir: Badan yang tidak sehat wal afiat bikin hura-hura petasan dan bunyi terompet yang fals itu, cuma menjadi sesuatu yang tak kesampaian di luar kamarku. Maka SMS dan telpon menjadi alternatif untuk berceloteh dengan basa-basi “Selamat tahun baru!” yang ada pula terselip kalimat “Wish u all the best” yang menyenangkan itu.
Ha! Sembari menghisap rokok dalam-dalam untuk meracuni paru-paru, aku mencengir di pagi buta, di tepian jendela, karena rasa-rasa lucu memikirkan bagaimana kalimat demikian seakan bikin seluruh anak cucu Adam dan Hawa sedang berulang-tahun secara massal di pagi 1 Januari ini. Massal seluruh dunia, di bawah matahari dan rembulan yang sama.
Namun apa yang menarik bagiku justru pertanyaan yang berbau pesimis – jika malah bukannya sinis – di awal postingan ini: Lalu apa?
Postingan terakhirku sendiri, tanggal 31 Desember tahun lalu, memang ada juga nada-nada sinis walpesimis demikian. Boleh jadi itu malah merupakan alasan tersendiri yang tak sempat kugali dan kudefinisikan, untuk jadi bahan postingan tentang sebab-musabab aku enggan bikin-bikin resolusi akhir tahun. Namun, aku tidak sampai bertanya selugas itu, bahkan pada diriku sendiri: Oke, sekarang tahun baru, anak muda. Lalu apa? Bahkan tidak melintas sama sekali dalam benakku, ketika jarum jam sudah melintasi angka 12 dan suara petasan mengiringi percik kembang api yang cuma sempat kulirik sekali dari kamar pengap ini (ah, untuk ritual begitu, malah aku sempat mendengar suara yang sudah akrab di zaman konflik dulu: suara peluru yang bersekutu dengan petasan, mercon, terompet dan kembang api sehingga semarak tahun baru makin bermutu). Tapi pertanyaan teman itu memang menyentil pikiran usil: Bukankah memang segalanya, segala ritual bertanggal, hanyalah soal simbol-simbol waktu saja? Kenapa bisa begitu punya arti tersendiri?
Misal saja, hal yang baru kusadari barusan ketika rehat sejenak menghisap rokok yang bertengger di asbak: Kalimat “tanggal 31 Desember tahun lalu” yang muncul di paragraf di atas. Sekilas membaca dan/atau mendengar ucapan itu, bahkan di tanggal 1 Januari yang notabene hanya berkisar beberapa jam saja dari tanggal 31 Desember di pukul 23:59, akan terasa seakan itu tanggal yang silam. 31 Desember tahun lalu itu terasa macam sudah jauh. Seakan aku mengucapkannya untuk sebuah postingan di tahun yang sudah setahunan yang lalu. Lihatlah, bukankah simbol-simbol angka dan batasan waktu bisa demikian menipu, Kawan? :lol:
Tidaklah aku tahu pasti apa yang mendasari pertanyaan demikian singgah, terbaca dan lalu terpikirkan olehku. Responku dengan mata yang mulai meredup cuma sederhana saja. Tertawa dengan diwakili simbol alfabet, dan kalimat wishful thinking yang klise, “Yaaa… lalu mencoba untuk menjadi lebih baiklah…” lalu dialog pun selesai. Mungkin kalimat itu bikin mulas dan muak, bikin pusing sehingga membuat teman kita itu mau tidur lekas-lekas, atau malah menjadi wahyu yang tiba-tiba membuat dia tercerahkan, lalu memamah kalimatku itu menjadi sebuah kebenaran/pembenaran di hari-harinya yang akan datang layaknya umat dapat wasiat-wasiat orang keramat.
Namun, aku sadar benar, baik ketika menjelang tidur atau bangun di pagi hari, bahwa pertanyaan berbau sinis walpesimis itu memang memiliki maknanya sendiri. Bukan pada sikap pesimis atau sinis itu, tapi pada bagaimana mempertanyakan guna apa mematok-matok waktu dan berharap dengan basis patokan waktu bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini. Bahwa empat angka 2013 akan lebih baik dari empat angka 2012. Bahwa 1 Januari ini akan jadi awal yang baru untuk format masa depan yang baru, yang sering silap pula dianggap untuk melupakan apa-apa dari masa lalu.
Aku tidak hendak menuruti benar kesinisan atau pesimisme demikian. Tidak sama sekali. Manusia, sependek nalarku yang tak seberapamana ini, memang sudah fitrahnya selalu berupaya menjadi lebih baik, atau minimal berharap bahwa hari-hari yang akan datang akan lebih baik. Apakah itu dipandang dari sudut pandang per individu, dari konsep-konsep manajeman finansial ala Robert Kiyosaki atau manajemen qalbu Aa Gymnastiar, dari sudut pandang kehidupan berbangsa-bernegara atau bahkan ajaran-ajaran yang menyebut-nyebut surga-neraka sebagai bentuk punish and reward untuk manusia: agama.
Sebagai muslim, misalnya, sudah sering aku mendengar ucapan sejenis, “Jika hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia orang yang beruntung, jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia orang yang merugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang celaka.”
Itu kalimat mungkin sudah sejak TK masuk ke liang telingaku, dan aku percaya bawah kalimat yang semakna (meski berbeda susunan kata) pernah masuk pula ke liang telinga mantan-mantan orang hidup sebelum mereka masuk ke liang lahat. Kalimat itu benar belaka, aku menerimanya demikian. Setidaknya, dari sudut sinis pikiranku ini, aku masih menerima guna kalimat itu untuk motivasi hidup dan bikin hidup lebih hidup bak kata iklan rokok di layar kaca. Hidup yang bukan macam ternak belaka: makan, minum, bikin ritual, berhubungan seksual, lalu bunting dan beranak-pinak sampai dibunuh sosok anonimus bernama Ajal.
Tapi, adalah menarik – bagiku sendiri setidaknya – untuk menertawai kecenderungan manusia (yang jelas termasuk pula diriku sendiri) mengikat diri pada simbol-simbol penanggalan. Tertawa yang senada-seirama pada drama hari0hari kemarin dari sesiapa yang ribut-ribut, berdebat kusir dan menangis-nangis menonton film 2013, berseteru atau bersekutu soal film kiamat yang tiba di tanggal tertentu hasil rakitan sineas itu. Karena di pikiranku, kiamat-kiamat kecil terjadi sehari-hari tanpa disadari. Kiamat yang tidak melulu terjadi pada diri sendiri, tapi pada orang lain, pada daerah lain, yang kata Bu Ani (guru agamaku di SMA dulu) bisa jadi pelajaran bagi kita.  Salah satu yang pasti dari kiamat-kiamat itu tak lain tak bukan adalah satu kata mengerikan: kematian.
Nah! Lalu bagaimana? Salahkah jika mempergunakan angka-angka seperti halnya penanggalan untuk bergenggam tangan erat bersalaman dan bersemangat mengucapkan, “Selamat tahun baru kawan! Mari menjadi lebih baik secara lebih cepat!” dan lalu semangat dijawab pula, “Siap, Kawan! Lanjutkan!” 
Tentu tidak. Setiap orang bebas untuk membuat patokan-patokan dalam hidupnya. Dan angka-angka jelas membantu hal demikian. Umpama kita mau beli tanah untuk menggarap kebun, agar jangan sampai dibacok orang karena tanahnya kita serobot, maka dibutuhkanlah pacak-pacak yang diberi simbol. Sekian meter ke utara berbatasan dengan tambak ikan Tuan Samwan. Sekian meter ke selatan berbatasan dengan kebun kelapa Datuk Beruk. Sekian meter ke timur berbatasan dengan kebun sayur Nyak Nur. Sekian meter ke barat berbatasan dengan sawah Tuanku Nan Batuah. (Jika batasan ini benar diterapkan dengan sebaik-baiknya, maka perangkat adat tak perlu merebahkan satu-dua ekor sapi untuk merujukkan warga yang bersengketa tanah sampai menghunus belati).
Dan batasan manusia memang bukan soal tanah macam contoh diatas. Pada kenyataannya, makhluk Tuhan yang – konon kata banyak agama – disebut-sebut nenek moyangnya pernah disembah oleh segenap bangsa malaikat, yaitu bangsa manusia, memang memiliki keterbatasan dalam kehidupan di planet bumi ini. Bahkan keterbatasan untuk mendefinisikan batas-batasnya sendiri sehingga kemudian membutuhkan simbol-simbol. Membutuhkan bahasa.
Seorang mahasiswa teknik mesin di Universitas Manchester di benua Eropa sana, sebelum masa Perang Dunia Pertama, kaget dengan pertanyaan yang merasuk ke otaknya sendiri, “Apakah angka itu?” Entah karena salah makan obat atau keselek pensil, dia beranggapan itu adalah pertanyaan yang lebih menarik daripada apa yang acap ditemuinya di bidang teknik mesin, dan kemudian juga disadarinya bahwa itu bukan sebuah pertanyaan sederhana.
Mahasiswa yang bergelut dengan angka-angka di bidang eksakta itu di kemudian hari bersabda dengan sedihnya, “Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt.” Sebuah sabda yang terasa gurih, indah, dan intelek sekali saat didengar, dibaca dan dituliskan di blog ini, dalam bahasa asing benua Eropa yang tak akan kutemui di pojok pasar dimana para kuli biasa berjudi ribuan rupiah dengan bahasa kasar. Sabda yang dalam bahasa Melayu versi Republik Indonesia berarti, “Batas bahasaku adalah batas duniaku.”
Demikianlah termaktub dalam buku Tractatus Logico-Philosophicus hasil karya Si Mahasiswa yang kini dikenal sebagai salah satu tokoh filsafat dunia bernama Ludwig Wittgenstein itu. Tentu bukan karena buku itu ditulis di parit perlindungan Perang Dunia I, saat dia menjadi sukarelawan dalam serdadu Austria yang mesti makan ala kadarnya pula, maka buku itu menjadi buku yang sukar dicerna seperti lambungnya sukar mencerna makanan tentara. Tapi karena keterkaitan dan keterbatasan manusia dengan bahasa berikut segala simbol-simbolnya – termasuk tanggal-tanggal almanak – adalah keunikan manusia yang tak bisa dibahas dengan satu buku atau bahkan satu postingan melantur ini.
Ada pula orang bernama Ernst Cassirer (yang wajahnya tak lebih kuhapal dari wajah kucing kurap yang pernah nyaris terlindas ban sepeda motorku, di pasar kotaku ini) sekali waktu dulu pernah memfatwakan keunikan manusia dalam hal ini, dimana dia meyakini (dan mencoba meyakinkan orang lain) bahwa hebatnya manusia itu bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya sehingga disebut Homo sapiens, tapi pada kemampuan berbahasa, sehingga ia munculkan pula istilah lain seenak jidatnya sendiri: Animal symbolicum, yaitu makhluk yang mempergunakan simbol. Konon cakupan istilah ini jauh lebih luas dari sebutan Homo sapiens itu tadi, disebabkan dalam kegiatan berpikir atau cari-cari beban pikiran, manusia menggunakan simbol-simbol. Sebuah fatwa bahasa yang dikumandangkannya dalam karyanya, An Essay on Man, terbitan tahun 1944, dan diaminkan oleh Aldous Huxley pula dengan kesimpulan yang kalem, “Tanpa bahasa, manusia tak akan berbeda dengan anjing atau monyet,” dalam lembaran The Importance of Language, tahun 1962.
Dari semua pameran kalimat-kalimat bernada intelektual penuh kutipan karya-karya asing dari orang-orang bernama asing di atas itu, lalu apa tujuan dari postingan ini, sebuah postingan dari Bogor ke Gunung Kidul alias ngalor-ngidul?
Ah, cuma menyampaikan peng-amin-an tambahan dari seorang blogger amatiran di pojok Aceh ini, betapa bahasa dan segala simbol-simbol penanggalan memang menjadi keunikan manusia. Begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, hingga pacak-pacak waktu kita definisikan dalam angka, hingga kata “31 Desember tahun lalu” bisa terasa sangat jauh dan sudah lama meski waktu baru lewat sehari. Meski ini baru tanggal 1 di bulan Januari. Tanggal yang menjadi hari pertama di tahun 2013 ini. Tanggal yang mungkin kita sudah terbiasa berlagak untuk “Hei! Mari buka lembaran baru, lupakan yang lama. Hidup mesti maju ke depan, jangan kau tengok-tengok yang di belakang. Lupakan masa lalu, lupakan kenang-kenangan dulu. Jangan lihat lagi… Mari maju dan tumbuh dewasa!”
Namun… tahukah kau, Kawan, bahwa nama bulan ini, Januari ini, diambil dari nama seorang dewa dalam mitologi Romawi. Namanya Janus, dilambangkan bermuka dua (ada juga digambarkan berkepala dua) yang tidak dimaksudkan untuk mewakili jenis ular kepala dua atau manusia bermuka dua dengan lidah yang mahir menjilat pantat sesiapa yang berkuasa atau berharta, seperti yang mungkin kau temui dalam kehidupan di kolong langit planet ini.

Tips Kado Tahun Baru Buat Kekasih

http://ajmainhalta.blogspot.com

Menyambut natal dan tahun baru, tidak jarang sepasang kekasih menyiapkan hadiah untuk pacarnya. Hadiah tidak hanya diberikan untuk kekasih, tapi bisa juga dihadiahkan untuk orang yang saat ini sedang dekat alias calon pacar.

Memberikan hadiah bisa beraneka rupa, namun sebelum memberikannya kado, lihat dulu seberapa dekat hubungan Anda dengan pria tersebut. Agar tidak salah pilih, ikuti tips dalam memilih hadiah seperti dirangkum Ask Men.

1. Tiket Konser atau Olahraga

Pria yang sedang dekat dengan Anda suka dengan band tertentu atau menyukai olahraga basket atau sepak bola? Anda bisa memberikannya sebuah tiket. Perhatian Anda terhadap band atau olahraga favoritnya bisa membuatnya senang. Agar hubungan Anda bisa semakin dekat, temani si dia untuk menonton konser atau pertandingan tim olahraga favoritnya.

2. Aksesori dari Kulit
Anda baru saja dikenalkan dengan seorang pria dan Anda sudah jatuh hati padanya. Untuk mendekatkan diri Anda ingin memberikan sebuah hadiah untuknya, namun Anda belum tahu apa yang ia sukai. Jika situasinya seperti itu, dompet atau ikat pinggang dari kulit merupakan hadiah yang ideal untuk pria yang baru saja Anda kenal. Aksesori kulit terkesan maskulin dan semua pria suka dengan hal itu.

3. Blazer

Memberikan blazer cocok untuk pria yang sudah lama Anda pacari. Selain Anda sudah mengetahui ukuran tubuhnya, memberikan baju sifatnya lebih privasi. Jika Anda baru mengenal pria dan langsung memberikan blazer atau baju terkesan terlalu berlebihan. Untuk kekasih Anda, berikan blazer berpotongan klasik.

4. Parfum
Jangan berikan parfum jika Anda baru mengenal melangsungkan pendekatan dengannya. Si dia bisa tersinggung karena merasa selama ini tubuhnya tidak wangi. Untuk itu berikan hadiah parfum untuk pria yang telah menjadi kekasih Anda cukup lama. Anda pun telah mengetahui jenis aroma y

Sabtu, 01 Desember 2012

Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia

http://bungas-barubelajar.blogspot.com/2012/11/commonwealth-life-perusahaan-asuransi.html

Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia

Dengan memilih sebuah  asuransi jiwa terbaik, setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya untuk keperluan yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Bahkan asuransi jiwa dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya.
Commonwealth Life sebagai perusahaan asuransi jiwa Indonesia, mencoba menggabungkan kemampuan yang terbaik dalam menganalisa pasar, keunggulan sumber daya manusia, serta jangkauan jaringan yang merata di Indonesia ketika mempersembahkan berbagai produk asuransi yang berkualitas serta dukungan pelayanan yang luar biasa bagi nasabah maupun calon nasabah.
KANTOR PUSAT Commonwealth Life Indonesia
  • Wisma Metropolitan II, lantai 8
  • Jl. Jend. Sudirman Kav. 29-31
  • Jakarta12920 -Indonesia
  • P : (021) 570 5000, 292 99500
  • F : (021) 520 5353

Twitter Facebook Favorites More